My [Lost] September; Pengalaman Menghilang di Kota Bandung!

by - November 26, 2017

[ Floating Market, Bandung ]
Jujur saja, sejak masih duduk di bangku SMK, Bandung termasuk ke dalam daftar atas tempat yang paling ingin saya kunjungi. Pesona Bukit Bintang dalam novel Dealova telah berhasil membuat angan saya melayang, bahwa suatu hari nanti, saya dapat berkunjung ke tempat tersebut.
Dan kesempatan itu, akhirnya saya dapat. September tahun lalu, dengan berbekal sebuah kamera DSLR dan kenekatan, saya pergi ke Bandung. Sendirian. Naik kereta Argo Parahyangan yang berangkat pukul 15.30.
Sesampainya di sana, sekitar jam enam sore, ada seorang teman yang menjemput dan mengantarkan saya ke penginapan. Seorang teman dunia maya yang saya kenal lewat sebuah forum kepenulisan. Ia baik, walau sometimes I feel weird with his attitude.
Oke. Pertama kali menginjak tanah Bandung, yang selama hampir tujuh tahun ini saya impikan, I really feel excited. Akhirnya, saya di sini. Ada perasaan lega yang memenuhi rongga dada saya, kala itu. Dan malam itupun, kami habiskan untuk mengitari alun-alun Bandung dan cuci mata di kawasan Asia – Afrika.
Esoknya, kami berkunjung ke Air Terjun Pelangi yang terletak di daerah Cisarua, Bandung Barat. Air terjun setinggi 87 meter itu telah berhasil mengibur saya dan membuat saya melupakan sejenak segala aktivitas kantor yang melelahkan.
Namun, masalah muncul di hari kedua saya di Bandung. Motor teman saya masuk bengkel dan butuh untuk direparasi selama beberapa hari. Well, saya sempat merasa down. Masa’ jauh-jauh ke Bandung hanya untuk tinggal di kamar penginapan sambil baca buku Perfume? (Saat itu saya memang sengaja bawa buku untuk mengusir kebosanan di perjalanan).
Dan begitulah, saya memutuskan secara sepihak (karena saya memang sendirian ketika ke Bandung, wkwk) untuk pergi jalan-jalan sendiri. Floating Market adalah tempat pertama yang ingin saya tuju. Saya tidak jadi ke Bukit Bintang karena lokasinya sangat jauh dari penginapan.
Saya pakai sepatu, pakai jaket ala-ala Hyuga Hinata dan tas bergambar Kaneki Ken yang di dalamnya ada kamera Canon EOS 1200D. Sambil baca-baca artikel di Om Google, saya berjalan menuju stasiun angkutan umum. Sempat menunggu lama angkutan arah Lembang, karena hari masih cukup pagi dan belum begitu banyak orang berlalu-lalang.
Tapi, finally, ada satu angkutan yang disupiri oleh seorang babe-babe yang sudah lumayan tua. Tanpa pikir panjang apalagi mikir dua kali, saya naik ke angkutan tersebut. Tak berapa lama, angkutan pun berjalan.
Hampir mendekati lokasi, ternyata daerah tersebut macet minta ampun. Masa’ tiga puluh menit hanya bisa maju sejauh satu kilometer? Kan gokil. Namun, babe-babe tersebut tiba-tiba membelokkan setirnya dan melaju di sebuah jalan pintas yang sirkuitnya benar-benar kayak jalur offroad! Naik turun melintasi pegunungan, melewati lembah dan apalah-apalah itu. Saya hanya duduk di kursi belakang mengikuti arus sambil makan permen, berharap Floating Market sudah di depan mata.

  
[ Penampakan Floating Market ]

Setelah mengalami perjalanan yang gokil bin ajaib sekaligus menguras adrenalin, saya akhirnya sampai juga di Floating Market tanpa kurang suatu apapun. Serius, ini adalah kali pertama saya dengan pedenya jalan-jalan sendirian di tempat antah-berantah yang saya pun baru mengenalnya selama satu hari. Plus tujuh tahun di kepala saya.
Tiket masuk ke Floating Market ketika itu sebesar Rp 20.000. Setibanya di sana, saya langsung mengeluarkan kamera dan mulai jeprat-jepret ria. Tempatnya benar-benar luas. Ada banyak wahana yang tersedia. Seperti Outbond, Taman Kelinci, Taman Miniatur Kereta Api, Canoe, dll. Namun, yang paling menarik perhatian saya, tentu saja pasar terapungnya.
Untuk belanja di pasar terapung, harus menggunakan koin khusus. Koin khusus ini bisa ditukarkan di stand yang tersedia. Kalau tidak salah, waktu itu saya beli rujak, deh. Kemudian, saya duduk di dekat sebuah keluarga besar asli Bandung dan sempat mengobrol sebentar sambil menikmati makanan. Karena bawa-bawa kamera, mereka pikir saya wartawan. Mereka juga tanya kenapa saya pergi sendiri. Saya hanya nyengir dan menjawab kalau lagi ingin pergi sendiri. Hahaha. Tidak mungkin kan, saya menjawab karena tidak ada teman. Nggak lucuk!
Setelah puas mengobrol dengan keluarga itu, bukan puas sih tepatnya. Lebih kepada perasaan rikuh kalau berlama-lama dekat dengan orang asing, wkwk. Saya kembali mbolang, muter-muter di kawasan itu sambil sesekali mengambil foto.
Ketika sampai di sebuah tempat yang sepi, saya akhirnya bisa menarik napas lega. Pergi sendiri, di tempat yang tidak ada orang yang mengenal kita satu pun, ternyata asyik juga.
[ Maka, nikmat mana lagi yang kamu dustakan, Dek? ]
Saya memandang perairan yang tenang. Dengan background pegunungan dan pepohonan hijau, scene tersebut terlihat begitu mengagumkan. Saya akhirnya sadar, pergi sendiri justru bisa membuat kita menjadi lebih percaya diri. Kita jadi punya me time, untuk membahagiakan diri sendiri tanpa perlu memikirkan orang lain. Bisa dengan tenang, merenung, menyelami kelemahan dan kekuatan yang ada dalam diri kita.
Saya pikir ini akan menjadi September saya yang hilang karena insiden sepeda motor masuk bengkel itu. Namun nyatanya, tidak. Lewat kejadian itu, saya akhirnya bisa memaksa diri saya untuk pergi tanpa harus mengandalkan atau merepotkan orang lain.
Serius, tidak ada perasaan yang lebih baik dibandingkan perasaan kala itu. Saya benar-benar bisa menghirup napas dengan nikmat. Bisa tersenyum dan melupakan masalah yang timbul. Ditemani angin sepoi-sepoi dan pemandangan yang begitu memukau. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan, Dek?
Sekitar jam dua siang, setelah mendapatkan cukup banyak foto yang bisa di-posting di blog, saya memutuskan untuk kembali pulang ke penginapan. Well, kesan pertama, memang begitu menggoda. Selanjutnya sih, terserah Anda.

Tapi, yang pasti. Saya akan kembali mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Tidak masalah kalau harus sendiri lagi. Siapa tahu nanti bisa ketemu warga lokal yang ganteng. Iya, tak? []
#Credit Photo : By Me 

You May Also Like

1 komentar