Review Film Fiksi (2008)
Beberapa saat yang lalu, saat sibuk scroll Tiktok, muncul potongan sebuah film berlatar rumah susun yang agak jadul dari laman Netflix Indonesia. Saya langsung ingat, ini adalah salah satu film yang pengen banget saya tonton, tapi lupa wkwk. Thanks, Tiktok. Akhirnya saya bisa mengingat kembali dan kemudian memutuskan untuk segera nonton!
Film Fiksi merupakan sebuah film ber-genre drama dan psikologi-thriller yang rilis pada tahun 2008. Hmm, sudah empat belas tahun yang lalu. Film garapan Mouly Surya dan Joko Anwar ini dibintangi oleh Ladya Cheryl, Donny Alamsyah dan Kinaryosih. Mengisahkan tentang kehidupan di rumah susun daerah Jakarta yang diwarnai oleh karakter-karakter unik dari mata seorang perempuan yang sedang terobsesi oleh cinta dan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan cintanya.
Alisha (Ladya Cheryl) adalah seorang anak yang menderita tekanan mental karena saat kecil menyaksikan ibu kandungnya (Inong) bunuh diri dengan pistol milik ayahnya. Pistol tersebut sebenarnya akan digunakan ayah Alisha (Soultan Saladin) untuk membunuh Inong demi wanita lain. Sejak saat itu, Alisha merasa memiliki dunianya sendiri di balik rumah mewah ayahnya. Dia hanya berinteraksi dengan pengurus rumah, Bu Tuti (Rina Hassim) dan sopir sekaligus penjaga pribadinya, Pak Bambang (Egi Fedly). Alisha memiliki keahlian untuk memainkan cello, sebagai hiburan serta pengusir rasa sepi.
Suatu hari, seorang lelaki bernama Bari (Doni Alamsyah) menggantikan seorang pekerja untuk membersihkan kolam renang di rumah Alisha. Alisha yang selama ini hanya berinteraksi dengan sedikit orang, merasa tertarik dengan Bari dan diam-diam memperhatikan lelaki tersebut. Ketika Bari sudah tidak bekerja, dengan diantar Pak Bambang, Alisha pergi ke Blok S dan melihat Bari di sana. Alisha kemudian mengikuti Bari sampai ke rumah susun. Ternyata Bari tinggal bersama dengan pacarnya, Renta (Kinaryosih). Alisha kemudian memperhatikan bahwa unit di sebelah unit yang ditinggali Bari kosong dan sedang mencari penyewa.
Malam itu, setelah merenung, Alisha memutuskan untuk pindah diam-diam ke unit kosong tersebut. Dengan membawa koper dan cello miliknya, dia berhasil menipu Pak Bambang dan pergi ke rumah susun.
Alisha memulai kehidupan di rumah susun menggunakan nama samaran, Mia. Dia kemudian berkenalan dengan Bari dan Renta. Lambat laun, bibit persahabatan muncul di antara ketiganya. Setiap malam, Alisha mendengar berbagai suara dari kamar Bari dan Renta. Cinta, marah, senang dan (you know-lah, ya, wkwk).
Pada suatu kesempatan, Bari mengajak Alisha untuk berkeliling rumah susun. Ini merupakan penggalan film yang saya lihat di Tiktok. Dan memang pas banget untuk menarik perhatian penonton. Setiap lantai rumah susun tersebut dihuni oleh berbagai karakter dari kalangan yang berbeda. Kurang lebih seperti ini susunannya:
1. Lantai 1 - pusat bisnis dan kebutuhan sehari-hari bagi penghuni rumah susun (ada salon, wartel, toko, dll).
2. Lantai 2 - dihuni oleh warga-warga biasa.
3. Lantai 3 - dihuni oleh waria dan transeksual.
4. Lantai 4 - dihuni oleh pelacur kelas atas dengan kliennya para pejabat dan eksekutif.
5. Lantai 5 - dihuni oleh pengedar narkoba yang sudah terkenal di sekitarnya.
6. Lantai 6 - dihuni oleh para pekerja kantoran dan mahasiswa.
7. Lantai 7 - dihuni oleh kaum gay, setiap Jum'at malam, mereka mengadakan pesta.
8. Lantai 8 - dihuni oleh para istri simpanan, mereka tinggal di lantai atas agar keberadaannya tak mudah diketahui.
9. Lantai 9 - lantai 9 ini dibiarkan kosong karena banyak kisah-kisah mistis yang beredar.
Setelah kejadian itu, mereka menjadi dekat dan akhirnya diketahui bahwa Bari merupakan seorang penulis. Banyak cerita-cerita Bari yang mengangkat kehidupan di rumah susun, namun tak terselesaikan karena Bari bimbang dengan ending apa yang harus dia gunakan. Bari bingung karena sumber inspirasi tulisannya merupakan orang-orang yang masih hidup dan hidup mereka masih berjalan. Mulai dari sinilah, Alisha mulai mengaburkan batas antara realita dan fiksi. Dia bertekad untuk menciptakan akhir dari setiap kisah yang ditulis Bari.
Jujur aja, film ini berhasil mengaduk-aduk perasaan saya. Saya merasa hidup Alisha itu benar-benar hampa dan kosong, nggak punya teman. Kehidupannya hanya sebatas di dalam rumah mewah milik ayahnya. Ketika ada seseorang datang, akhirnya dia menjadi terobsesi dengan orang tersebut dan rela untuk melakukan apa saja. Walaupun dengan menyakiti atau bahkan membunuh orang lain.
Pengambilan setting di rumah susun dan karakter-karakternya yang beragam juga terasa dekat dengan kehidupan di sekitar kita. FYI, walaupun ini film ber-genre thriller, tapi minim darah ataupun adegan-adegan sadis, ya. Jadi, aman banget bagi yang awalnya ragu mau nonton karena takut ada kejadian-kejadian seram di film, wkwk.
Akting Ladya Cheryl juga keren parah. Dia bisa berperan jadi Alisha yang polos sekaligus jadi Mia yang sadis dan tak berperasaan. Oh ya, pertama kali lihat Ladya Cheryl itu di MV-nya Peterpan, Tak Ada yang Abadi. Emang kayaknya doi cocok untuk dapat peran diem-diem psiko. Lawan mainnya, Donny Alamsyah pun nggak kalah kece. Selama ini mungkin dia terkenal main di film laga kayak The Raid, Merantau ataupun Merah Putih. Namun, aktingnya di film drama ini juga oke punya. Dengan rambut gondrong, postur tubuh yang macho serta kepribadiannya yang friendly, ya pantes aja Alisha terobsesi sama ini orang, wkwk.
Film ini saya kasih 9/10. Serius, selesai nonton tuh masih kayak kebayang-bayang Alisha sampe beberapa hari, wkwk. Bahkan, saya sempat menitikkan air mata saat nonton filmnya. Nggak salah sih film ini jadi pemenang di Festival Film Indonesia 2008. Yuk, buat yang penasaran gimana akhir kisah Alisha, Bari dan Renta, tonton film Fiksi! Tersedia di Netflix juga ya, guys ~
*Sumber gambar:
0 komentar