[ Floating Market, Bandung ] |
Jujur
saja, sejak masih duduk di bangku SMK, Bandung termasuk ke dalam
daftar atas tempat yang paling ingin saya kunjungi. Pesona Bukit
Bintang dalam novel Dealova telah berhasil membuat angan saya
melayang, bahwa suatu hari nanti, saya dapat berkunjung ke tempat
tersebut.
Dan
kesempatan itu, akhirnya saya dapat. September tahun lalu, dengan
berbekal sebuah kamera DSLR dan kenekatan, saya pergi ke Bandung.
Sendirian. Naik kereta Argo Parahyangan yang berangkat pukul 15.30.
Sesampainya
di sana, sekitar jam enam sore, ada seorang teman yang menjemput dan
mengantarkan saya ke penginapan. Seorang teman dunia maya yang saya
kenal lewat sebuah forum kepenulisan. Ia baik, walau sometimes
I feel weird with his attitude.
Oke.
Pertama kali menginjak tanah Bandung, yang selama hampir tujuh tahun
ini saya impikan, I
really feel excited.
Akhirnya, saya di sini. Ada perasaan lega yang memenuhi rongga dada
saya, kala itu. Dan malam itupun, kami habiskan untuk mengitari
alun-alun Bandung dan cuci mata di kawasan Asia – Afrika.
Esoknya,
kami berkunjung ke Air Terjun Pelangi yang terletak di daerah
Cisarua, Bandung Barat. Air terjun setinggi 87 meter itu telah
berhasil mengibur saya dan membuat saya melupakan sejenak segala
aktivitas kantor yang melelahkan.
Namun,
masalah muncul di hari kedua saya di Bandung. Motor teman saya masuk
bengkel dan butuh untuk direparasi selama beberapa hari. Well,
saya sempat merasa down.
Masa’
jauh-jauh ke Bandung hanya untuk tinggal di kamar penginapan sambil
baca buku Perfume? (Saat itu saya memang sengaja bawa buku untuk
mengusir kebosanan di perjalanan).
Dan
begitulah, saya memutuskan secara sepihak (karena saya memang
sendirian ketika ke Bandung, wkwk) untuk pergi jalan-jalan sendiri.
Floating Market adalah tempat pertama yang ingin saya tuju. Saya
tidak jadi ke Bukit Bintang karena lokasinya sangat jauh dari
penginapan.
Saya
pakai sepatu, pakai jaket ala-ala Hyuga Hinata dan tas bergambar
Kaneki Ken yang di dalamnya ada kamera Canon EOS 1200D. Sambil
baca-baca artikel di Om Google, saya berjalan menuju stasiun angkutan
umum. Sempat menunggu lama angkutan arah Lembang, karena hari masih
cukup pagi dan belum begitu banyak orang berlalu-lalang.
Tapi,
finally,
ada satu angkutan yang disupiri oleh seorang babe-babe yang sudah
lumayan tua. Tanpa pikir panjang apalagi mikir dua kali, saya naik ke
angkutan tersebut. Tak berapa lama, angkutan pun berjalan.
Hampir
mendekati lokasi, ternyata daerah tersebut macet minta ampun. Masa’
tiga puluh menit hanya bisa maju sejauh satu kilometer? Kan gokil.
Namun, babe-babe tersebut tiba-tiba membelokkan setirnya dan melaju
di sebuah jalan pintas yang sirkuitnya benar-benar kayak jalur
offroad!
Naik turun melintasi pegunungan, melewati lembah dan apalah-apalah
itu. Saya hanya duduk di kursi belakang mengikuti arus sambil makan
permen, berharap Floating Market sudah di depan mata.
[ Penampakan Floating Market ] |
Setelah
mengalami perjalanan yang gokil bin ajaib sekaligus menguras
adrenalin, saya akhirnya sampai juga di Floating Market tanpa kurang
suatu apapun. Serius, ini adalah kali pertama saya dengan pedenya
jalan-jalan sendirian di tempat antah-berantah yang saya pun baru
mengenalnya selama satu hari. Plus tujuh tahun di kepala saya.
Tiket
masuk ke Floating Market ketika itu sebesar Rp 20.000. Setibanya di
sana, saya langsung mengeluarkan kamera dan mulai jeprat-jepret ria.
Tempatnya benar-benar luas. Ada banyak wahana yang tersedia. Seperti
Outbond,
Taman Kelinci, Taman Miniatur Kereta Api, Canoe,
dll.
Namun, yang paling menarik perhatian saya, tentu saja pasar
terapungnya.
Untuk
belanja di pasar terapung, harus menggunakan koin khusus. Koin khusus
ini bisa ditukarkan di stand
yang tersedia. Kalau tidak salah, waktu itu saya beli rujak, deh.
Kemudian, saya duduk di dekat sebuah keluarga besar asli Bandung dan
sempat mengobrol sebentar sambil menikmati makanan. Karena bawa-bawa
kamera, mereka pikir saya wartawan. Mereka juga tanya kenapa saya
pergi sendiri. Saya hanya nyengir dan menjawab kalau lagi ingin pergi
sendiri. Hahaha. Tidak mungkin kan, saya menjawab karena tidak ada
teman. Nggak lucuk!
Setelah
puas mengobrol dengan keluarga itu, bukan puas sih tepatnya. Lebih
kepada perasaan rikuh kalau berlama-lama dekat dengan orang asing,
wkwk. Saya kembali mbolang,
muter-muter
di kawasan itu sambil sesekali mengambil foto.
Ketika
sampai di sebuah tempat yang sepi, saya akhirnya bisa menarik napas
lega. Pergi sendiri, di tempat yang tidak ada orang yang mengenal
kita satu pun, ternyata asyik juga.
[ Maka, nikmat mana lagi yang kamu dustakan, Dek? ] |
Saya
memandang perairan yang tenang. Dengan background
pegunungan
dan pepohonan hijau, scene
tersebut
terlihat begitu mengagumkan. Saya akhirnya sadar, pergi sendiri
justru bisa membuat kita menjadi lebih percaya diri. Kita jadi punya
me
time, untuk
membahagiakan diri sendiri tanpa perlu memikirkan orang lain. Bisa
dengan tenang, merenung, menyelami kelemahan dan kekuatan yang ada
dalam diri kita.
Saya
pikir ini akan menjadi September saya yang hilang karena insiden
sepeda motor masuk bengkel itu. Namun nyatanya, tidak. Lewat kejadian
itu, saya akhirnya bisa memaksa diri saya untuk pergi tanpa harus
mengandalkan atau merepotkan orang lain.
Serius,
tidak ada perasaan yang lebih baik dibandingkan perasaan kala itu.
Saya benar-benar bisa menghirup napas dengan nikmat. Bisa tersenyum
dan melupakan masalah yang timbul. Ditemani angin sepoi-sepoi dan
pemandangan yang begitu memukau. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang
kamu dustakan, Dek?
Sekitar
jam dua siang, setelah mendapatkan cukup banyak foto yang bisa
di-posting
di
blog, saya memutuskan untuk kembali pulang ke penginapan. Well,
kesan
pertama, memang begitu menggoda. Selanjutnya sih, terserah Anda.
Tapi,
yang pasti. Saya akan kembali mengunjungi tempat-tempat yang belum
pernah saya kunjungi. Tidak masalah kalau harus sendiri lagi. Siapa
tahu nanti bisa ketemu warga lokal yang ganteng. Iya, tak? []
#Credit Photo : By Me